Kerak telor merupakan salah satu kuliner ikonik Betawi yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Makanan ringan berbahan dasar telur bebek, beras ketan, dan ebi ini pertama kali muncul di kawasan kota tua Jakarta pada awal abad ke-20. Pada masa itu, para pedagang kaki lima di kawasan lapangan dekat Stasiun Kota (sebelumnya Batavia) menjajakan kerak telor sebagai camilan penghangat badan bagi warga yang hendak menunggu kereta.
Bahan utama kerak telor adalah beras ketan putih yang dimasak setengah matang, kemudian ditumis bersama telur bebek. Setelah itu, campuran tersebut diberi taburan ebi kering, bawang goreng, dan kelapa parut yang telah diolah dengan gula aren. Semua bahan tersebut kemudian dipipihkan di atas wajan datar yang sudah diolesi minyak, lalu dipanggang hingga bagian bawahnya berkerak kecokelatan—dialah yang memberi nama “kerak” pada hidangan ini.
Kerak telor tumbuh bersama berbagai perayaan rakyat Betawi, terutama pada acara kebudayaan dan festival kota. Pada masa penjajahan, kritik atau diskusi politik sering berlangsung di ruang publik, dan kerak telor menjadi teman setia warganya. Kini, makanan ini bahkan menjadi suguhan wajib saat Jakarta Fair dan berbagai bazar budaya Betawi lainnya, sebagai simbol tradisi kuliner ibu kota.
Seiring berjalannya waktu, kerak telor mengalami inovasi cita rasa tanpa menghilangkan keaslian resep. Beberapa pedagang menambahkan taburan situs rajazeus terbaru keju atau cabe bubuk untuk menarik selera generasi muda. Meski begitu, versi klasik tetap menjadi favorit dan ukuran porsinya dijaga agar tetap kecil—karena pada dasarnya kerak telor memang dimaksudkan sebagai jajanan ringan, bukan hidangan berat.
Peran pedagang kaki lima dalam melestarikan kerak telor sangat besar. Generasi penerus pedagang Betawi mewarisi keterampilan memasak dan mempraktikkan cara tradisional, mulai dari memilih beras ketan hingga mengatur bara api agar kerak terbentuk sempurna. Aktivitas memasak di tempat terbuka juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menyaksikan proses pembuatan secara langsung.
Kini, upaya pelestarian kerak telor terus dilakukan oleh komunitas budaya Betawi dan pemerintah daerah DKI Jakarta. Workshop memasak, kompetisi kreatif, hingga sertifikasi rasa menjadi langkah konkret untuk memastikan kerak telor tetap dikenal luas dan tidak punah ditelan modernisasi. Dengan begitu, generasi mendatang dapat terus menikmati dan memahami nilai sejarah serta budaya yang terkandung di balik setiap gigitan kerak telor.
Baca Juga: Petualangan Rasa di Jerman: Apa yang Harus Kamu Coba dan Di Mana Menemukannya